KISAH NYATA DARI TANAH ARAB…..
Ditengah
gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan banyak kisah.
Kota ini menyimpan rahasia yang hanya diperdengarkan
kepada telinga
dan hati yang mendengar. Tentu saja, Hidayah adalah
kehendak NYA dan
Hidayah
hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya.
Ada sebuah
energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa
hari yang
lalu dari sahabat Saya
Salah satunya
adalah teman dari Negara Sudan, Afrika.
Dia dikenal dengan nama Ammar Mustafa, dia salah satu
Muslim
kulit hitam yang juga kerja di kota Riyadh.
Beberapa bulan ini tidak lagi terlihat
berkerja.
Biasanya dia bekerja bersama pekerja lainnya
menggarap
proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh
yang sampai saat
ini belum bisa ramah dikulit.
Hari itu Ammar tidak terlihat.
Karena penasaran, coba tanyakan kepada Iqbal tentang
kabarnya.
“Oh kamu tidak tahu?”
Jawabnya balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas
India yang
bercampur dengan logat urdhu yang pekat.
“Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola
ya?”
Selepas
itu, Iqbal bercerita panjang lebar tentang Ammar.
Dia
menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga
akhir,
semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh.
Seperti
ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya itu.
Saya
mendengarkan dengan seksama.
Ternyata
Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya
sekitar
tahun 2005 lalu.
Ia datang
ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi
meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari
kehidupan di Kota ini.
Saudi
arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab
lainnya
termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal
punya
Pasport dan tiket.
Sayang,
kehidupan memang tidak selamanya bersahabat.
Do’a Ammar
untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi
keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Dia
bekerja berpindah
pindah
dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk
membayar
apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman temannya.
Meski
demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan.
Ia tetap
mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di
Sudan.
Bulan
pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat…
Bulan
ketiga hingga tahun tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak
kunjung
berakhir..
Waktu
bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup
berpindah
pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari
dan
suasana Kota yang garang.
Tapi amar
tetap bertahan dalam kesabaran.
Kota
metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak
tahu
caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik.
Dihutan
kita masih bisa menemukan buah buah, tapi di kota? Kota adalah
belantara
penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu
bersaing.
Riyadh
adalah ibu kota Saudi Arabia.
Hanya
berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis
menuju
Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk
berlindung
saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah
satu kali
dalam setahun..
Amar
seperti terjerat di belantara Kota ini.
Pulang ke
suddan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus
membawa
perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu
tekadnya.
Ammar
tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya.
Ia tetap
mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus
ditukar
dengan lapar dan haus untuk raganya disini.
Sering ia
melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar
sambil
terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk
keluarganya di Sudan.
Tapi Ammar
pun Manusia.
Ditahun
kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman
temannya
yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah pindah kerja dan
numpang di
teman temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.
Ia
memutuskan untuk pulang ke Sudan.
Tekadnya
telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan
tanpa uang
yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya.
Saat
itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang
untuk
tiket pulang.
Ia
memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada
teman
terdekatnya. Dan salah satu teman baik amar memahaminya ia
memberinya
sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan.
Hari itu
juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini
dengan
niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana
saja.
Ia pergi
ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk menukar uangnya
dengan
tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu
ini susah
didapat karena konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket
hanya
tersedia untuk kelas executive saja.
Akhirnya
ia beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya.
Ia memesan
dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah
ditangan,
dan jadwal terbang masih minggu depan.
Ammar
sedikit kebingungan dengan nasibnya.
Tadi pagi
ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan
malu sama
temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang.
Tapi
baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan
kebiasaan
itu.
Adzan
dzuhur bergema..
Semua Toko
Toko, Supermarket, Bank, dan Kantor Pemerintah serentak
menutup
pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga jaga di luar
kantor
kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah selesai.
Ammar
tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh.
Ia
mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu..
memabasahi
wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting
dengan
air.
Lalu ia
masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid.
Ia duduk
menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.
Hanya
disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan,
Ia
merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga
hatinya
berada dalam ketenangan ditiap menit yang ia lalui.
Shalat
telah selesai.
Ammar
masih bingung untuk memulai langkah.
Penerbangan masih seminggu lagi.
Ia
diam.
Dilihatnya
beberapa mushaf al Qur’an yang tersimpan rapi di pilar
pilar
mesjid yang kokoh itu. Ia mengmbil salah satunya, bibirnya mulai
bergetar
membaca taawudz dan terus membaca al Qur’an hingga adzan
Ashar tiba
menyapanya.
Selepas
Maghrib ia masih disana.
Beberapa
hari berikutnya, Ia memutuskan untuk tinggal disana hingga
jadwal
penerbangan ke Sudan tiba.
Ammar
memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya.
Seperti
pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu.
Ammar
mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa jiwa untuk shalat,
membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa
Kota.
Adzannya
memang khas.
Hingga
bukan sebuah kebetulan juga jika Prince (Putra Raja Saudi) di
kota itu
juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana.
Adzan itu
ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu
terakhirnya di kota Riyadh.
Hingga
jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan
ke Sudan
jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi
atau 2 jam
sebelumnya.
Ammar
bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk
mencari
bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak
kurang
dari 30 menit dari pusat Kota.
Amar sudah
duduk diruang tunggu dibandara,
Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai
meliputinya.
Ia harus
pulang kenegerinya tanpa uang sedikitpun, padahal lima tahun
ini tidak
sebentar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin.
Tapi
inilah kehidupan, ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan.
Ia tidak
pernah ingin mencemari kedekatannya dengan Penggenggam Alam
semesta
ini dengan mengeluh. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi
kewajiban
kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai Imam dalam
keluarga
dan ayah buat anak anaknya.
Diantara
lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang memanggil
manggil
namanya.
Suara itu
datang dari speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya belum
hilang
Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang
menghampirinya.
Mereka
membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata
“Prince
memanggilmu”.
Ammarpun
semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince.
Prince
adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu
Prince.
Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan
diseluruh
jazirah Arab ini. Mereka memilii Palace atau Istana masing
masing.
Keheranan
dan ketakutan Ammar baru sirna ketika ia sampai di Mesjid
tempat ia
menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu
menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan Adzan
fajar yang
biasa ia
lantunkan.Setiap kali Ammar adzan prince selalu bangun dan merasa
terpanggil..
Hingga
ketika adzan itu tidak terdengar, Prince merasa kehilangan.
Saat
mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang kenegerinya
Prince
langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan
dan segera
menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang untuk
kembali ke
Negerinya.
Singkat
cerita, Ammar sudah berhadapan dengan Prince.
Prince
menyambut Ammar dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang
alasan
kenapa ia tergesa pulang ke Sudan.
Amarpun
menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini dan
tidak
mendapatkan kesempatan kerja yang tetap serta gaji yang cukup
untuk
menghidupi keluarganya.
Prince
mengangguk nganguk dan bertanya: “Berapakah gajihmu dalam satu
bulan?”
Amar
kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap.
Bahkan
sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan
tanpa gaji
dinegeri ini.
Prince
memakluminya.
Beliau
bertanya lagi: “Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang
pernah
kamu dapati?”
Dahi Ammar
berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima
tahun
kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: “Hanya SR 1.400″,
jawab
Ammar.
Prince
langsung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang.
1.400 Real
itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR
84.000 (84
Ribu Real = Rp. 184. 800.000). Saat itu juga bendahara
Prince
menghitung uang dan menyerahkannya kepada Amar.
Tubuh Amar
bergetar melihat keajaiban dihadapannya.
Belum
selesai bibirnya mengucapkan Al Hamdalah,
Prince
baik itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata:
“Aku tahu,
cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan.
Pulanglah
temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi
setelah 3
bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu
kembali ke
Riyadh. Jadilah Bilall dimasjidku.. dan hiduplah bersama
kami di
Palace ini”
Ammar
tidak tahan lagi menahan air matanya.
Ia tidak
terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar
artinya di
negeri Sudan yang miskin. Ammar menangis karena
keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh
memperhatikannya
selama
ini, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara
yang
indah.
Ammar
tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari disiang
hari yang
mengigit kulitnya. Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman
tiap bulan
untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak.
Semua
berubah dalam sekejap!
Lima tahun
itu adalah masa yang lama bagi Ammar.
Tapi masa
yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah.
Nothing
Imposible for Allah,
Tidak ada
yang tidak mungkin bagi Allah..
Bumi
inipun Milik Allah,..
Alam
semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan
Nya.
Inilah
buah dari kesabaran dan keikhlasan.
Ini adalah
cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini,
saat ini
Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik
Prince. Ia
dianugerahi oleh Allah di Dunia ini hidup yang baik, ia
menjabat
sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.
Subhanallah…
Seperti
itulah buah dari kesabaran.
”Jika
sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya.
Jika kamu
mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti
pribadimu
belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada
batasnya.
Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam
naungan
keridhaan Nya”.
Allahuakbar!
Maha Benar
Allah dengan segala Firman Nya.
Di Kutip dari Email MY